Selasa, 25 Desember 2012





Teori Belajar Eggen

Eggen dan Kauchak (1993: 319) mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai sekumpulan strategi mengajar yang digunakan guru agar siswa saling -membantu dalam mempelajari sesuatu. Oleh karena itu belajar kooperatif ini juga dinamakan “belajar teman sebaya.”. Kooperatif adalah suatu gambaran kerjasama antara individu yang satu dengan lainnya dalam suatu ikatan tertentu. Ikatan–ikatan tersebut yang menyebabkan antara satu dengan yang lainnya merasa berada dalam satu tempat dengan tujuan–tujuan yang secara bersama–sama diharapkan oleh setiap orang yang berada dalam ikatan itu.
Pemikiran tersebut hanya merupakan suatu gambaran sederhana apa yang tersirat tentang kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran dengan siswa bekerja dalam kelompok yang memiliki kemampuan heterogen. Pembelajaran kooperatif dapat digunakan untuk mengajarkan materi yang agak kompleks, membantu mencapai tujuan pembelajaran yang berdimensi sosial, dan hubungan antara manusia. Belajar secara kooperatif dikembangkan berdasarkan teori belajar kognitif konstruktivis dan teori belajar social.
Menurut Arends (1997: 111), pembelajaran yang menggunakan model kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan materi belajar.
b.      Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah
c.       Jika mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda-beda
d.      Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu.

Secara umum, pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mencipatakan ikatan yang kuat antar siswa, membangun kecerdasan sosial dan emosional, sehingga pada akhirnya siswa bisa berinteraksi terhadap lingkungannya dengan segala kemampuan dan potensi diri yang berkembang dengan baik. Secara garis besar, tujuan tersebut bisa dicapai apabila memenuhi indikator sebagai berikut:

a. Kemandirian yang positif
Kemandirian yang positif akan berhasil dengan baik apabila setiap anggota kelompok merasa sejajar dengan anggota yang lain. Artinya satu orang tidak akan berhasil kecuali anggota yang lain merasakan juga keberhasilannya. Apapun usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk semua anggota kelompok. Kemandirian yang positif merupakan inti pembelajaran kooperatif.

b. Peningkatan interaksi
Pada saat guru menekankan kemandirian yang positif, selayaknya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling mengenal, tolong menolong, saling bantu, saling mendukung, memberi semangat dan saling memberi pujian atas usahanya dalam belajar. Aktivitas kognitif dan dinamika kelompok terjadi pada saat siswa diikutsertakan untuk belajar mengenal satu sama lain. Termasuk dalam hal ini menjelaskan bagaimana memecahkan masalah, mendiskusikan konsep yang akan dikerjakan, menjelaskan pada teman sekelas dan menghubungkan dengan pelajaran yang terakhir dipelajari.

c.    Pertanggungjawaban individu
Tujuan kelompok dalam pembelajaran kooperatif adalah agar masing-masing anggota menjadi lebih kuat pengetahuannya. Siswa belajar bersama sehingga setelah itu mereka dapat melakukan yang lebih baik sebagai individu.  Untuk memastikan bahwa masing-masing anggota lebih kuat, siswa harus membuat pertanggungjawaban secara individu terhadap tugas yang menjadi bagiannya dalam bekerja. Pertanggungjawaban individu akan terlaksana jika perbuatan masing-masing individu dinilai dan hasilnya diberitahukan pada individu dan kelompok.

Dalam proses belajar mengajar, para siswa perlu dilatih untuk bekerja sama dengan rekan-rekan sebayanya. Ada kegiatan belajar tertentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan secara bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada jika dikerjakan sendirian oleh masing-masing siswa. Latihan kerja sama sangatlah penting dalam proses pembentukan kepribadian anak. Pembelajaran kooperatif mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amatlah penting untuk dimiliki siswa dalam rangka memahami konsep-konsep yang sulit, berpikir kritis dan kemampuan membantu teman.
Para ahli psikologi umumnya sependapat bahwa siswa-siswa mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret dan dikerjakan secara bersama-sama. Dalam ranah pengembangan kepribadian dan konsep diri siswa, konselor di sekolah dapat menerapkan pembelajaran kooperatif dalam konseling melalui teknik sebagai berikut:

1.     Bimbingan kelompok
Dalam bimbingan kelompok sebaiknya dibentuk kelompok-kelompok kecil yang lebih kurang terdiri dari 4-5 orang. Murid-murid yang telah tergabung dalam kelompok-kelompok kecil itu mendiskusikan bersama sebagai permasalahan termasuk didalamnya permasalahan belajar.


2.     Peer Konseling
Melalui peer konseling, hubungan sosial dan kecerdasan emosional siswa meningkat dan menjadi lebih baik. Dalam hal ini siswa bisa saling bekerjasama untuk menyelesaikan permasalahan.

3.     Organisasi murid dan kegiatan bersama
Kegiatan bersama merupakan teknik bimbingan yang baik, karena dengan melakukan kegiatan bersama mendorong anak saling membantu sehingga relasi sosial positif dapat dikembangkan dengan baik. Organisasi siswa dapat membantu dalam proses pembentukan anak, baik secara pribadi maupun secara sebagai anggota masyarakat.

4.   Sosiodrama
          Sosiodrama adalah suatu cara dalam bimbingan yang memberikan kesempatan pada murid-murid untuk mendramatisasikan sikap, tingkah laku atau penghayatan seseorang. Maka dari itu sosiadrama dipergunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah.




PANDANGAN PESTALOZZI DAN FROEBEL TENTANG PENDIDIKAN
1.      Johann Heinrich  Pestalozzi (1746-1827)
Pestalozzi dilahirkan di Zurich, Swiss. Ia sangat dipengaruhi oleh Rousseau khususnya buku Emile. Ia juga sangat terkesan pada konsep back to nature dan ia membeli sebidang tanah yang maksudnya akan dijadikan pusat penelitian dari metode pertanian yang baru. Pestalozzi makin tertarik pada bidang pendidikan. Pada tahun 1774 ia mulai dengan sekolah yang disebut Neuhof di tanah pertaniaannya. Di tempat inilah ia mengembangkan idenya yang merupakan integrasi dari kehidupan rumah, pendidikan vokasional dan pendidikan utnuk membaca serta menulis.
Untuk lebih mengenal pandangan Pestalozzi tentang pendidikan pada bagian selanjutnya kelompok akan menguraikan pandangannya tentang pendidikan. Mendahului pemikirannya tentang pendidikan akan diuraikan konsep pemikiran Pestalozzi tentang alam, manusia dan Tuhan.
Konsep tentang Alam, Manusia dan Tuhan

1.      Alam
Mula-mula Pestalozzi terkesan dengan Rosseauo yang ideanya kemudian ditolaknya. Pestalozzi menggunakan istilah “alam” yang sinonim dengan semua yang asli, otentik, dan bebas dari artifisialitas. Dengan kata lain, alam adalah sesuatu yang asli dan berada dalam sebuah proses perkembangan yang kontiniu. Alam yang asli itu perlu diisi dengan sesuatu yang baik untuk menjaga keharmonisannya.
2.      Manusia
Manusia adalah bagian integral dari alam. Dalam diri manusia itu ada juga proses perkembangan. Berkaitan dengan proses perkembangan itu, setiap manusia khususnya pada anak-anak terdapat tiga tahap penting, yaitu pertama pemikiran anak-anak masih kabur, kedua obyek-obyek uncul dalam kesadaran yang dikarakterisasikan melalui bentuk-bentuk dan kualitas2 yang eksplisit dan ketiga obyek-obyek ini dimengerti sebagai konsep-konsep umum; obyek-obyek ini menurut kata Pestalozzi “ditentukan”. Sepanjang proses itu setiap person dalam dirinya aktif dalam meperoleh dan mengklarifikasi  gambaran dan dalam mentransformasinya ke dalam ide-ide yang berisi pengetahuan. Setiap anak seharusnya diperlakukan sesuai dengan posisinya dalam proses itu. Dan bagian besar dari ajaran mencakup dan memungkinkan dia untuk melatih pengetahuannya yang dimilikinya sendiri atau mendefenisi segala sesuatu.
Pengetahuan selalu bersisi tiga elemen: jumlah segala sesuatu yang dikenali, bentuk yang mereka tunjukan, bahasa yang mewujudkannya. Pestalozzi berkesimpulan bahwa pembelajaran harus mulai dengan unsur-unsur ke mana tiap unsur dapat dianalisa. Unsur-unsur jumlah adalah satu kesatuan, dan aritmatika harus dikuasai agar dapat memahai jumlah. Kedua, rupanya Pestalozzi berpikir      Manusia dilihat Pestalozzi memiliki sifat-sifat bawaan yang berasal dari keluarga.
3.     Tuhan
Christ-centered piety
Konsep tentang Pendidikan
1.    Hakekat Pendidikan
“Sense impression” meliputi pikiran bersih terlepas dari observasi
2.    Metode Pendidikan
Metode yang diangkat oleh Pestalozzi disebut Pestalozianisme yaitu metode yang coba mengangkat perbedaan individual dan menstimulasi aktivitas diri si anak. Metode ini dapat dicapai lewat kegiatan menggambar, menyanyi, latihan fisik dan berkelompok.
3.    Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Pestalozzi adalah modern civilization. Khususnya pembebasan diri dari kekusutan persepsi diri, hal-hal yang tidak berguna, pengetahuan, ambisi untuk memperoleh kebahagiaann.
4.     Substansi Pendidikan
Pestalozzi percaya bahwa masyarakat dapat diperbaharui melalui pendidikan. Setiap orang harus merasa bahwa Allah dan alam memberi kepadanya potensialitas kebajikan untuk berkembang dan secara individual setiap anak adalah suci.
2.    Friederich Wilhelm Froebel (1782-1852)
Froebel lahir di Jerman, dan mengabdikan kehidupannya guna mengembangkan suatu sistem mendidik. Anak. Froebel dianggap sebagai bapak dari pendidik anak usia bayi, selain itu dikenal karena menciptakan garden of chldren atau kindegarten (taman kanak-kanak) yang berarti kebun milik anak di Blankenburg, Jerman. Sekolah yang dirancang oleh Froebel ini berbeda dari sekolah yang ada sebelumnya. Model rancangan ini di kemudian hari mempengaruhi rancangan sekolah di seluruh dunia.
Berikut ini akan diuraikan pandangan Froebel tentang pendidikan, tapi sebelum itu akan diuraikan lebih dahulu konsep pemikirannya tentang alam, manusia dan Tuhan.
Konsep tentang Alam, Manusia dan Tuhan
Konsep pemikiran Froebel tentang alam, manusia dan Tuhan senantiasa saling berhubungan. Ia memandang bahwa Yang absolut mencakup dan secara kontinu melibatkan kekuatan alam dan pikiran manusia. Evolusi kosmik mulai dari aksi ke reaksi ke keseimbangan, dari sederhana ke kompleks, dari ketidaksadaran kepada kesadaran diri. Yang Absolut disebutnya Tuhan dan evolusinya disebutnya penciptaan. Segala sesuatu memiliki tujuannya yang menyatukannya dan mengikatnya ke dalam keselruhan kosmik yang lebih besar, ini terjadi karena sifat evolusi atau penciptaan dari ketiga unsur terebut. Evolusi dari Yang Absolut direfleksikan dalam miniatur kemanusiaan.
1.       Alam
Froebel melihat alam sebagai pewahyuan diri Allah melalui evolusi kosmik untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian alam senantiasa memiliki dan mengalami perubahan terus menerus untuk mencapai tujuannya. Alam akan senantiasa berkembang dari yang sederhana ke arah yang lebih kompleks.
2.      Manusia
Manusia dilihat Froebel sebagai mahkluk yang dinamis yang memiliki perkembangan. Perkembangan dalam diri manusia ini dibaginya dalam 5 tahap. Tahapan yang disebutnya sebagai tahapan pertumbuhan manusia (infancy), terdiri dari masa kecil (childhood), masa kanak-kanak (boyhood), masa muda (youth), dan tahap terakhir disebutnya masa dewasa (maturity).
Dalam tahap, masa perkembangan ini individu mengalami proses pertumbuhan, perkembangan. Proses ini merupakan masa penjernihan, pencerahan pertumbuhan individu dalam mengekspresikan dirinya dan akhirnya memuncak pada kesadaran akan diri. Tiap tahapan memang memiliki keunikan masing-masing dalam hal ekspresi diri dan kesadaran diri. Tapi akhirnya semuanya akan tiba pada perubahan yang memperlihatkan satu kesadaran diri yang penuh dalam individu.


3.       Tuhan
Tuhan dilihat Froebel sebagai sesuatu Yang Absolut. Yang absolut ini merangkul segala sesuatu, menyusun daya dalam alam dan pikiran manusia secara berkelanjutan. Ia kemudian mengatakan bahwa Yang Absolut ini mengalami evolusi. Evolusi dari Yang Absolut ini dapat direfleksikan dalam miniatur kemanusiaan.
Dengan demikian seperti halnya alam dan manusia yang berevolusi Yang Absolut juga mengalami hal yang sama. Akan tetapi perubahan yang ada haruslah disaksikan lewat alam yang merupakan pewahyuan dirinya dan direfleksikan dalam kehadiran manusia di alam ini.
Konsep tentang Pendidikan
1.      Hakekat Pendidikan
Pada bagian ini sebenarnya kita diperhadapkan dengan pertanyaan apa itu pendidikan? Menurut Froebel yang dimaksud dengan pendidikan ialah apa yang memimpin atau menuntun manusia kepada kepandaian berpikir (segi kognitif dari manusia) dan apa yang menghantar manusia pada kesadaran diri yang lebih mendalam menuju sesuatu yang murni, tak bercela (segi afeksi dari manusia).
Dalam hubungan dengan itu Froebel menyajikan empat prinsip mendasar yang perlu diperhatikan dalam pendidikan. Pertama, bahwa perkembangan alamiah menyatakan dirinya dalam perkembangan individu dan harus ditunjukkan dalam pengajaran tentang ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan agama. Kedua, pendidikan harus diatur demi harmonisnya dengan perkembangan alam yang natural dari anak-anak. Ketiga, pendidikan harus membuka dan mengembangkan keseluruhan pribadi manusia, agama seharusnya diajarkan dalam rangka mengolah emosi; alam harus dipelajari sebagai pewahyuan diri Allah dan matematika harus diapresiasikan sebagai simbol hukum universa. Bahasa juga menghubungkan manusia dengan hukum dan ritme  benda-benda dan harus menjadi bagian dari pendidikan. Keempat, seni harus diajarkan karena merupakan talenta umum manusia dan dapat menghadirkan keharmonisan dalam diri manusia.
2.      Metode Pendidikan
Froebel menyusun metode pendidikan sesuai dengan konteks perkembangan individu. Dalam tahapan permulaan dia menganjurkan agar seharusnya menggunakan metode yang memungkinkan ekspresi spontan dalam diri individu. Sedangkan pada tahapan akhir dapat digunakan metode yang mengawasi dan mengarahkan perkembangan individu. Dengan demikian dalam dunia anak-anak metode harus disesuaikan dengan sifat atau dunia anak. Dalam hubungan dengan konteks anak-anak, perlu diperhatikan perkembangan yang mengarahkan anak pada suatu kesadaran diri dalam suasana bebas, dimana seorang individu dibiarkan untuk menunjukkan, mengekspresikan yang ada dalam dirinya dengan bebas. Menurut Froebel permainan merupakan metode yang paling cocok dan penting bagi penerapan ekspresi ini.
Dalam pendidikan ini Froebel kemudian menyusun dan mengembangkan kurikulum pendidikan yang terecana dan sistematis.  Bagi dia yang menjadi dasar bagi kurikulum tersebut adalah gift dan occupation: pemberian yang menyediakan permainan-permainan dan usaha, kerja yang bisa dibuat dengan permaianan yang ada.
Gifts adalah obyek yang dapat dipegang dan dipergunakan anak sesuai dengan instruksi dari guru dan dengan demikian anak dapat belajar tentang bentuk, ukuran warna serta konsep yang diperoleh melalui menghitung, mengukur, membedakan dan membandingkan. Gifts pertama adalah enam buah bola dari gulungan benang, masing-masing berbeda warnanya, dan enam helai benang yang panjang yang warnanya sama dengan warna bola yang ada.
Sedangkan Occupation adalah materi yang dirancang untuk mengembangkan berbagai variasi ketrampilan, yang utama adalah psikomotor, melalui aktivitas semacam menjahit dengan papan jahitan, membuat bentuk dengan mengikuti titik, membentuk lilin, menggunting bentuk, meronce, menggambar, menenun, menempel dan melipat kertas. Atas cara ini Froebel yakin bahwa bermain merupakan cara belajar yang penting bagi anak-anak. Karena lewat gifts dan occupation seorang anak akan mengusahakan diri yang tentu saja diawasi ke arah pengekspresian diri yang bebas demi mencapai perkembangan diri, ketetapan karakter dan kesadaran diri.
3.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Froebel adalah perkembangan menyeluruh dari individu: semua daya individu, dan harmoni internal individu, sebagaimana relasi harmonis dengan alam, masyarakat dan Tuhan. Namun menurut Froebel tujuan ini tidak dapat dibebankan kepada anak; sebab dia harus mengusahkannya bagi dirinya sendiri melalui aktivitas yang ekspresif dari kekuatan-kekuatan yang masih tersebunyi. Mereka yang telah mencapai tujuan tersebut akan mampu menunjukan satu karakter yang solid dan tetap yang memberinya integritas dalam setiap situasi dan kebiasaan intelektual yang memungkinkan dia untuk mendapatkan pengetahuan ketika perlu.
Pendidikan seperti yang dimaksudkan oleh Froebel ini adalah untuk mengembangan keutuhan anak-anak tanpa pemaksaan melainkan anak-anak dibantu untuk menumbuhkembangkan sendiri talenta-talentanya yang tersembunyi dalam dirinya lewat pengawasan yang ada. Dengan demikian anak-anak diberikan kebebasan untuk mengekspresikan diri lewat metode yang ada untuk membentuk diri yang memungkinkan dia tetap dalam karakternya ketika berhadapan dengan berbagai situasi yang ada di lingkungannya, sekaligus juga terbuka terhadap pengetahuan yang baru sejauh perlu.
4.      Substansi Pendidikan
Yang menjadi substansi pendidikan menurut Froebel adalah menjadikan manusia untuk mampu mewujudkan dirinya ke arah suatu pengetahuan yang benar.
Evalusi Kritis atas Pandangan Pestalozzi dan Froebel tentang Pendidikan
Pertama, Tahap perkembangan yang diangkat baik oleh Pestalozzi dan Froebel menyebabkan pengkotak-kotakan dalam pendidikan itu sendiri. Tapi dilain pihak pembagian ini juga memudahkan proses pendidikan itu sendiri.
Kedua, menurut Froebel segala sesuatu berevolusi, baik alam ciptaan maupun Tuhan sendiri.
Ketiga, menurut Froebel segi kognitif belum menjadi jaminan untuk perbuatan baik.

Soemiarti Patnonodewo. 1995. Buku Ajar Pendidikan Prasekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi.
L.E Loemker. 1996. “Peatalozzi, Johann Heindrik” dalam Encyclopedy of Philoshiphy, edited by Paul Edward, vol 5 (Ney York: Simon, schuster Macmillan,).
Soemiarti Patnonodewo. 1995. Buku Ajar Pendidikan Prasekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi.
Soemiarti Patnonodewo. 1995. Buku Ajar Pendidikan Prasekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi.
Bdk. Mayke Sugianto. 1995. Bermain, mainan dan Permainan. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.




Teori Belajar Ausubel

Sebagai pelopor aliran kognitif, David Ausable mengemukakan teori belajar bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna adalah proses mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan terdapat dalam struktur kognitif seseorang. (Ratna Willis Dahar: 1996). Selanjutnya dikatakan bahwa pembelajaran dapat menimbulkan belajar bermakna jika memenuhi prasayasat, yaitu:
1.      Materi yang akan dipelajari melaksanakan belajar bermakna secara potensial
2.      Anak yang belajar bertujuan melaksanakan belajar bermakna. Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung dari materi itu memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa.

Berdasarkan pandangannya tentang belajar bermakna, maka David Ausuble mengajukan 4 prinsip pembelajaran , yaitu:

1.     Pengatur awal (advance organizer)
Pengatur awal atau bahan pengait dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan konsep lama denan konsep baru yang lebih tinggi maknanya. Pemggunaan pengatur awal tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi , terutama materi pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat mengawali pembelajaran dengan prestasi suatu pokok bahasan sebaiknya “pengatur awal” itu digunakan, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.


2.     Diferensiasi progresif
Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-konsep. Caranya unsur yang paling umum dan inklusif diperkenalkan dahulu kemudian baru yang lebih mendetail, berarti proses pembelajaran dari umum ke khusus.


3.     Belajar superordinat
Belajar superordinat adalah proses struktur kognitif yang mengalami petumbuhan kearah deferensiasi, terjadi sejak perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif tersebut. Proses belajar tersebut akan terus berlangsung hingga pada suatu saat ditemukan hal-hal baru. Belajar superordinat akan terjadi bila konsepkonsep yang lebih luas dan inklusif.

4.     Penyesuaian Integratif
Pada suatu sasat siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan kognitif itu, Ausable mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integratif Caranya materi pelajaran disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat menggunakan hiierarkhi-hierarkhi konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi disajikan. Penangkapan (reception learning). Menurut Ausubel , siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relevan untuk dirinya sendiri sehigga mereka memerlukan motivasi eksternal untuk melakukan kerja kognitif dalam mempelajari apa yang telah diajarkan di sekolah. Ausable menggambarkan model pembelajaran ini dengan nama belajar penangkapan.

Inti belajar penangkapan yaitu pengajaran ekspositori, yakni pembelajaran sistematik yang direncanakan oleh guru mengenai informasi yang bermakna (meaningful information). Pembelajaran ekspositori itu terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1.      Penyajian advance organizer
Advance organizer merupakan pernyataan umum yang memeperkenalkan bagian-bagian utama yang etrcakup dalam urutan pengajaran. Advance organizer  berfungsi untuk menghubungkan gagasan yang disajikan di dalam pelajaran dengan informasi yang telah berda didalam pikiran siswa, dan memberikan skema organisasional terhadap informasi yang sangat spesifik yang disajikan.

2.      Penyajian materi atau tugas belajar.
Dalam tahap ini, guru menyajikan metri pembelajaran yang baru dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, film, atau menyajikan tugas-tugas belajar kepada siswa. Ausuble menekankan tentang pentingnya mempertahankan perhatian siswa, dan juga pentingnya pengorganisasian meteri pelajaran yang dikaitakan dengan struktur yang terdapat didalam advance organizer. Dia menyarankan suatu proses yang disebut dengan diferensiasi progresif, dimana pembelajaran berlangsung setahap demi setahap, dimulai dari konsep umum menuju kepada informasi spesifik, contoh-contoh ilustratif, dan membandingkan antara konsep lama dengan konsep baru.

3.      Memperkuat organisasi kognitif.
Ausuble menyarankan bahwa guru mencoba mengikatkan informasi baru ke dalam stuktur yang telah direncanakan di dalam permulaan pelajaran, degan cara mengingatkan siswa bahwa rincian yang bersifat spesifik itu berkaitan dengan gambaran informasi yang bersifat umum. Pada akhir pembelajaran ini siswa diminta mengjukan pertanyaan pada diri sendiri mengenai tingkat pemahamannya terhadap pelajaran yang baru dipelajari, menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki dan pengorganisasian materi pembelajaran sebagaimana yang dideskripsikan didalam advance organizer samping itu juga memberikan pertanyaan kepada siswa dalam rangka menjajaki keluasan pemahaman siswa tentang isi pelajaran.

Ausubel (dalam Dahar, 1988:137) mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna (meaningful)  jika informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik sehingga peserta didik dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel (dalam Dahar ,1988 :142) juga menyatakan bahwa agar belajar bermakna terjadi dengan baik dibutuhkan beberapa syarat, yaitu :
1.      Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial,
2.      Anak yang akan belajar harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna      sehingga mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna.



Dikatakan lebih lanjut oleh Ausubel (Dahar ,1989 :141) ada tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu :
(a)  Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat,
(b)  Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip,
(c)   Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.

Belajar bermakna (meaningfull learning) yang digagas David P. Ausubel adalah suatu proses pembelajaran dimana siswa lebih mudah memahami dan mempelajari, karena guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya. Sehingga belajar dengan “membeo” atau belajar hafalan (rote learning) adalah tidak bermakna (meaningless) bagi siswa. Belajar hafalan terjadi karena siswa tidak mampu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang lama.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena,  dan fakta-fakta baru kedalam system pengertian yang telah dipunyainya.Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna. Mereka yang berada pada tingkat pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktivitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.





Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:

A.      Belajar dengan penemuan yang bermakna
Yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
B.      Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna
Yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
C.      Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna
Materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.
D.     Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna
Yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki. Prasyarat agar belajar menerima menjadi bermakna menurut Ausubel, yaitu:
a.       Belajar menerima yang bermakna hanya akan terjadi apabila siswa memiliki strategi belajar bermakna,
b.      Tugas-tugas belajar yang diberikan kepada siswa harus sesuai dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa,
c.       Tugas-tugas belajar yang diberikan harus sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa.